Jangan Pergi Lintang Hatiku
Dia baru saja keluar dari ruang dokter, mukanya tampak murung, air matanya pun membasahi pipinya. Dia adalah kekasihku, Lintang namanya. Tepatnya Lintang Dana Wikara. Beberapa hari setelah keluar dari rumah sakit, dia tampak murung dan sering melamun. Padahal Lintang adalah seorang yang ceria dan suka bercanda. Suatu ketika, ia kuajak ke sebuah taman, tempat biasa kami bertemu.
“Kamu baik baik aja kan sayang?” Kataku memulai pembicaraan.
“Iya,aku baik baik aja kok.”
“Tapi dari tadi kamu diem aja, kamu masih sakit?”
“Aku nggak papa sayang, aku baik baik aja kok. Aku udah agak mendingan,kamu nggak usah khawatir.!”
Sebentar kita ngobrol, kemudian Lintang mengajakku pulang. Sejak saat itu aku tak pernah lagi bertemu dengan Lintang. Seakan – akan, Lintang memang menjauh dariku. Setiap aku ingin dengannya, dia selalu mencari alasan untuk tidak bertemu denganku. Aku tak tahu, mengapa dia menghindar dariku.
Saat aku pulang dari sekolah, aku nggak sengaja lihat Lintang keluar dari apotek. Sepertinya dia baru saja membeli obat. Aku berhenti di depan apotek dan tanpa ragu-ragu aku langsung masuk menemui pelayan untuk menanyakan tentang Lintang. Air mata jatuh di pipiku ketika ku dengar bahwa Lintang membeli obat untuk pengidap kanker darah. Lebih kagetnya lagi saat pelayan memberitahukan bahwa itu obat untuk penderita yang sudah parah.
Berhari-hari aku memikirkan hal itu. Tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara bunda.
“Vini, ada temenmu datang tuh!”Aku berjalan menuju depan rumah dan ternyata itu Reno, temen deketnya Lintang.
“Reno, ada apa? Kok tumben kamu kesini?”
“Lintang sakit, sekarang dia ada di rumah sakit.”
Tiba-tiba saja Lintang menarik tanganku dan mengajakku ke rumah sakit.
“Itu Lintang, kemarin dia jatuh, terus pingsan.”Aku pun terdiam tanpa berbicara sepatah kata pun.
“Aku pergi dulu ya?Lintang mau bicara ma kamu.”
Aku pun mendekati Lintang yang terbaring lemah di tempat tidur rumah sakit itu. Betapa aku bisa merasakan apa yang Lintang rasakan. Tapi seraut wajah yang manis itu melemparkan sebuah senyuman untukku.
“Hai Vin, apa kabar?” Suara lirih memanggilku namaku.
“Baik,kalau kamu gimana?”
“Ya seperti yang kamu lihat saat ini.”
“Cepet sembung ya Lintang sayang!” Aku kangen kamu yang dulu.
“Vin, aku minta maaf atas apa yang telah aku lakukan selama ini, tapi bukan maksudku seperti itu, aku . . . .”
“Aku tahu maksudmu, tak usah kau jelaskan lagi. Lagian aku telah memaafkanmu.”
“Makasih ya, aku sayang banget ma kamu.Emm, boleh aku meminta sesuatu kepadamu?”
“Apa?”
“Aku ingin kamu membuang semua foto-foto ku yang kaamu simpan, kumohon!”
“Tapi . . .”
“Kumohon vin,aku tak ingin membuat kamu sedih. Aku ingin selalu membahagiakan kamu. Seperti janjiku dahulu.”
“Baiklah, sekarang juga aku akan pulang untuk membuang semua foto-fotomu.”
Aku bergegas pulang dan mencari semua foto-foto Lintang lalu membuangnya. Aku tak tahu kenapa aku tak dapat menolak keinginan Lintang. Seperti ada sesuatu hal yang mendorongku untuk melakukan itu. Aku buang semua foto-foto Lintang, lalu aku kembali ke rumah sakit.
“Aku sudah memuang semua foto-fotomu.”
“Kau bohong, kau masih menyimpannya di dalam dompetmu kan?”
“Maaf, tapi aku nggak bisa membuangnya. Ini foto terakhir kita.”
“Percayalah, suatu saat kau akan temukan diriku dalam keadaan yang jauh lebih baik dari foto itu.”
Aku membakar foto itu di hadapan Lintang. Lintang pun tersenyum senang. Kami melanjutkan pembicaraan tadi. Semua tampak seperti biasa, seperti tak ada sesuatu yang terjadi.Tak ada hal lain yang dapat kami lakukan selain mengobrol. Hingga tanpa terasa, hari sudah mulai malam.
“Vin, aku mau tidur, aku capek, aku udah lelah.”
“Tidurlah, aku akan menjagamu disini.”
“Tapi kamu kok nggak tidur? Kamu pasti capek, setelah seharian nemenin aku disini.”
“Aku nggak akan tidur walaupun aku capek. Aku takut kamu ninggalin aku.”
“Aku nggak akan kemana-mana, percayalah.”
Akupun tak juga tidur. Aku lihat wajah lelah Lintang yang sangat aku kagumi itu. Kasihan Lintang, dia harus pura-pura tegar buat aku. Aku nggak bisa bayangin, giman jadinya jika dia harus pergi dariku.
Tapi mataku tak bisa di ajak kompromi. Aku tertidur, dan aku nermimpi tentang suatu tempat yang indah,entah dimana. Yang jelas, dalam mimpiku, Lintang mengajakku ke tempat itu. Tapi sayang, silauan sinar matahari dari jendela kamar rumah sakit membangunkan aku dari mimpi indahku semalam. Betapa kagetnya aku saat terbangun, kulihat beberapa perawat dan dokter mengerumuni Lintang.
“Kau keluarganya?”
“Ya.”
“Kami sudah berusaha sekuat tenaga, tapi Tuhan berkehendak lain.Lintang telah mendahului kita.”
Seketika air mataku menetes. Tiada kata yang terucap dari bibirku. Hanya rasa dosaku terhadap Lintang yang pernah kukecewakan dan sering kusakiti hatinya. Dengan berjuta perasaan kesedihanku, kukenang masa-masa indah yang kulalui bersama Lintang. Teramat kusesali, mengapa tidur nyenyakku tadi malam harus dibalas dengan kepergian Litang untuk selamanya.
Beberapa hari kemudian, aku berlari disebuah lahan yang amat luas. Tanpa kusadari, di depanku tertancap sebuah nisan yang bertuliskan Lintang Dana Wikara. Aku memang baru bisa datang ke makam Lintang hari ini. Kemarin aku pingsan saat melihat sosok Lintang dibalut dengan kain kafan. Aku hanya melamun memandangi nisan yang sepertinya menatap mesra wajahku itu. Hingga aku tak sadar, jika Reno dan Ana telah berada di sampingku.
“Yang sabar ya vin!” Kata Ana sambil mengelus pundakku.
“Lintang udah tenang disana.”
“Tapi Ren, Lintang bohong padaku. Lintang janji nggak akan ninggalin aku. Tapi kenyataannya apa? Dia malah pergi dariku untuk selama-lamanya. Lintang jahat Ren.”
“Vin, kamu harus relain Lintang pergi. Ini udah takdir Tuhan Vin. Kamu nggak boleh nyalahin takdir.”
“Lintang tuh nggak akan pergi kalau saja ak nggak lenggah jagain dia malem itu. Kalau aja aku nggak tertidur. Ini semua salahku An.”
“Jangan terus-terusan nyalahin diri kamu sendiri Vin. Ini bukan salah kamu. Mendingan kita pulang sekarang. Kita doakan Lintang supaya arwahnya diterima disisi Tuhan.”
“Ana benar Vin. Nggak ada gunany terus terusan di sini. Ayo kita pulang!”
Ana dan Reno mencioba membujukku untuk pulang. Tapi aku nggak mau pulang. Aku mau nemenin Lintang. Tapi tiba-tiba, awan tebal menyelimuti bumi. Hujan turun diiringi suara petir yang memekakan telinga.
“Vin, ayo berteduh. Hujannya deres banget, nanti kamu sakit.”
“Nggak mau, aku mau nemenin Lintang. Aku nggak mau Lintang kedinginan di sana.”
“Vin, jangan ngeyel ah. Lintang pasti akan marah kalau kamu kayak gini terus.”
“Tapi aku mau nemenin Lintang.”
“Ini ujannya makin gede Vin. Ayolah, nanti kamu sakit.”
Karena bujukan Ana dan Reno, akhirnya aku berteduh. Tapi tetap saja mataku tak dapat lepas dari makam Lintang yang mulai dibasahi air hujan itu. Khayalanku pun terbang jauh ke masa lalu. Masa dimana aku sering ujan-ujanan bareng Lintang. Tapi sekarang, aku hanya bisa ujan-ujanan sendiri. Tanpa Lintang. Hingga akhirnya aku jatuh sakit.
“Asalamu’alaikum.”
“wa’alaikum salam. Eh Ana, masuk sayang!”
“Makasih tante, Ana dengar Vini sakit ya tan?”
“Iya, badannya demam. Panasnya nggak turun turun an. Tante jadi sedih. Vini sampai nggak doyan makan.”
“Boleh Ana menemuinya tante?”
“Tentu saja Ana. Tentu Vini akan senang kalau lihat kamu dateng. Masuk aja, Vini ada di halaman belakang. Sedang melamun kayaknya.”
“Makasih tante.”
Saat itu aku sedang melamun. Memandangi langit yang sangat cerah. Kulihat beberapa bintang yang bersinar terang. Tetapi sayang, sinar bulan itu tak dapat aku nikmati bersama lintang. Sampai saat ini, aku belum percaya kalau Lintang telah pergi. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh tangan yang menutup mataku, dan suara yang sepertinya aku kenal.
“Hayo tebak, aku siapa?”
“Lintang, jangan bercanda ah, kalau aku jantungan gimana?”
“Kok Lintang sih Vin? Ini aku, Ana.”
“Ana, abis kamu ngagetin aku sih.”
“Abisnya, melamun terus dari tadi, nggak ada kerjaan lain neng? Eh ya, kamua belum bisa lupain Lintang ya?”
“Aku nggak akan bisa luapain Lintang An. Lintang itu orang yang benar-benar aku sayangi. Kamu tentu tahu kan gimana aku sama Lintang dulu? Kemana-mana selalu berdua, bercanda-canda, dan mesra tiada duanya An.”
“Iya aku tahu. Tapi kamu nggak boleh lama-lama larut dalam kesedihan. Lintang udah tenang di alam sana. Jadi kamu juga harus relain dia bahagia.”
“Kenapa ya An, nggak aku aja yang mati? Aku nggak kuat hidup sendirian tanpa Lintang.”
“Kamu nggak boleh ngomong gitu Vin. Belajarlah nerima kenyataan ini. Walaupun pahit, tapi aku yakin, kamu pasti bisa.”
“Aku udah belajar buat nerima kenyataan pahit ini An, tapi aku tetep aja nggak bisa. Susah buat aku ngelupain Lintang.”
Pembicaraan kami terhenti sejenak. Mungkin Ana udah capek kasih pengertian ke aku. Aku emang ngeyel orangnya. Keras kepala bundaku bilang. Tapi tiba-tiba, saat aku melihat sedang mencoba menghitung bintang-bintang yang bertaburan di angkasa, aku melihat sebuah bintang yang sinarnya sangat cerag. Beda dari sinar bintang-bintang yang lain. Aku tersenyum. Ini senyum pertamaku sememenjak kepergian Lintang.
“An, coba deh lihat bintang itu! Sinarnya cerah banget ya?”
“Iya Vin. Beda dari sinar bintang-bintang yang lain.”
“Apa ini yang dimaksud Lintang An?”
“Maksudnya Vin?”
“Aku tahu sekarang, mengapa Lintang menyuruhku untuk membuang semua foto-fotonya.”
Aku llihat Ana terheran heran melihat sikapku yang aneh. Mungkun ia bingung kenapa aku tuba-tiba jadi senang seperti ini. Sekarang, aku sudah bisa merelakan Lintang pergi. Benar apa kata Lintang. Aku akan temukan dirinya dalam keadaan yang jauh lebih baik daripada foto-foto itu. Dan sekarang aku telah menemukannya. Sesungguhnya aku bisa memandang dan menikmati keindahannya setiap malam. Terima kasih Lintang, sinarmulah yang menguatkanku untuk membuka lembaran hidupku yang baru.
TERIMA KASIH LINTANG HATIKU.
0 komentar:
Posting Komentar